Sabtu, 16 Agustus 2014

Antara Spiderman, Kuaci, dan Rendang Jengkol


Melakoni profesi sebagai seorang pendidik di sebuah sekolah dasar sepertinya telah menjadi pengisi waktu luang paling menyenangkan bagiku. Tiga tahun lalu, aku tak punya ide sama sekali tentang bagaimana caranya mengajar. Aku hanya kenal tentang dunia anak dan pendidikan secara serabutan dari buku-buku bacaan, film-film yang di tonton, diskusi-diskusi kecil, hingga kegiatan-kegitan kampus.
Memiliki latar belakang pendidikan berbeda, adalah tantangan yang lain lagi buatku. Harapan dan tuntutan lingkungan sekitar juga menjadi momok yang pernah menghantuiku beberapa tahun lamanya. Namun apabila kita memang sudah kadung cinta, hambatan seberat dan serupa apapun tetap akan terasa ringan dan nikmat untuk dijalani. Kata orang-orang tua dahulu: “Kalau sudah jelas dan benar keinginan, maka terbukalah jalan.” Paolo Coelho dalam The Alchemist juga pernah menulis: “Ketika kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, maka alam semesta akan mendukungmu.” Sama prinsipnya dengan hukum tarik-menarik.
Berangkat dari pengalaman yang masih kurang itu, aku mencoba mengolahnya menjadi sebuah peluang untuk belajar sesuatu yang baru. Sebuah proses belajar akan terasa sangat menyenangkan ketika kita telah benar-benar menyukai apa yang sedang kita pelajari. Hal ini menjadi salah satu prinsip yang aku pegang teguh hingga kini.
Maka ketika mengajar anak-anak di sekolah pun, aku selalu menjalani prinsip ini. Kegiatan belajar harus dikondisikan dalam suasana hati gembira. Belajar adalah sebuah ritual sakral tentang pembebasan pikiran, hati, dan jiwa. Ketika seseorang belajar dalam keadaan terpaksa, itu hanya akan menjadi sia-sia. Membuang-buang energi dan tenaga saja.
Lantas apa hubungan prolog cerita yang saya curhatkan diatas dengan tokoh superhero Spiderman, cemilan kuaci, bahkan rendang jengkol?
Nah kawan-kawan, berikut kisahnya.

Spiderman.
Di tahun pertamaku, ada seorang anak kelas tiga yang terkenal sangat aktif dan sulit sekali untuk diajak fokus belajar. Suasana hatinya gampang sekali berubah. Bahkan tak jarang membuat guru yang sedang mengajar menjadi pusing tujuh keliling. Akupun sempat merasakan hal yang sama.
Namun pengalaman pribadi masa kecil telah membuatku untuk tidak lekas berprasangka kepada anak-anak. Aku tidak ingin memberi label negatif kepadanya. Pada suatu kesempatan saat makan siang bersama, ketika hanya ada aku dan dia, aku mulai bedongeng kepada anak ini.
“Maukah engkau mendengar sebuah rahasia?” ujarku mengawali cerita.
“Rahasia apa pak?” ia bertanya penasaran.
“Nih, dengarkan dengan hati-hati ya.., sebenarnya dulu bapak pernah menjadi spiderman!”
“Haaah??! Bapak bercanda nih! Mana buktinya?”
“Maaf, bapak gak bisa ngasih bukti sekarang, karena bapak gak ingin anak-anak yang lain tahu. Ini rahasia yang sangat besar! Jangan beritahu teman-temanmu ya.”
“Hahaha...bapak ada-ada aja nih.”
“Beneran lho, kalau malam hari biasanya bapak berubah jadi spiderman untuk menumpas kejahatan, nasehatin anak-anak yang usil pada temannya, dan anak-anak yang malas belajar.” Ujarku meyakinkan.
“Hahaha...”, dia tertawa.
“Baiklah, kalau kamu tak percaya, bapak gak akan maksa. Toh ga ada ruginya buat bapak. Nanti malam bapak akan beraksi lagi menjadi spiderman. Tolong jangan kamu bilang siapa-siapa ya..”
Dari percakapan singkat itu, sebenarnya aku tahu bahwa dia tidaklah sungguh percaya bahwa guuru bahasa Inggrisnya ini adalah seorang spiderman asli seperti di film. Tapi aku sudah mulai menarik perhatiannya. Peristiwa pembocoran ‘rahasiaku’ itu telah menjadi sebuah momentum yang asik. Sejak saat itu, setiap kali aku masuk kelasnya, dia pasti selalu tersenyum penuh arti kepadaku, menghampiriku dan berbisik “Hai bapak spiderman...”. Kemudian aku mendekatkan satu jariku ke bibir sembari berbisik pelan: ”Sssttt... ini rahasia.. yok kita belajar dulu.”
Lama-kelamaan, anak ini semakin fokus mengikuti kelasku, ia jadi semakin antusias dan selalu nurut ketika aku mengajar. Teman-teman guru lain mungkin sempat heran kenapa aku bisa ‘mengondisikan’ anak ini. Bahkan sampai kini, sudah dua tahun berselang. Anakku yang satu ini masih suka sesekali memanggilku bercanda, “Pak spiderman, ntar aku bilangin rahasianya ke teman-teman lho!” Aku berteriak; “Jangaaaaan...bahaya ntar kalo bapak ketahuan”. Hahaha..
Sekarang anak ini telah berubah menjadi salah satu pentolan yang paling bersemangat dan selalu menanti-nantikan mata pelajaran bahasa Inggris yang kuampu. Hanya kepada kawan-kawan yang sedang membaca cerita inilah, aku juga membocorkan rahasia ini. Selain aku, anak itu, dan kawan-kawan, tidak ada yang tahu. Bahkan keluargaku sendiri juga tak pernah tahu. Ini rahasia kita saja. Oke?

Kuaci.
Di sekolah kami ada peraturan reward and punishment. Anak yang bersemangat, berprestasi, atau fokus dalam mencapai sebuah target, akan mendapatkan hadiah. Anak yang lalai akan mendapat punishment seperti membaca istighfar, menyalin surat pendek Al-quran, atau membersihkan sampah. Sedangkan hadiah bisa berupa piala, piagam, buku-buku, alat tulis, hingga traktiran makan.
Nah, reward yang terakhir kusebut itulah yang menjadi sajian favoritku kepada anak-anak. Alih-alih memberikan mereka kue tart atau bolu sebagai hadiah, aku lebih memilih traktiran kuaci. Bukannya pelit, tapi ini awalnya adalah sebuah guyonanku (kawan-kawan tentu sudah tahu kalau aku selalu menyampaikan dengan santai, penuh humor becandaan, dan games menarik) di kelas bersama anak-anak.
“Ayo anak-anak, siapa yang bisa menjawab pertanyaan bapak akan ditraktir makan besaaaaaaaaar!” teriakku.
“Makan dimana pak? Restoran ya? Ayam goreng? Pizza?” seru anak-anak antusias.
“Bukan, bapak akan traktir kalian kuaci.” Ujarku kalem sambil merendahkan volume suara, dan dengan tampang serius meyakinkan.
“Yaaaaaaaah....Cuma kuaciiiiiiiiii.” Sorak anak-anak protes!
“Tenang, tenang...bapak akan traktir kuaci sekarung!”
“Gak mauuuuuuu....gak mauuuuu...hahahahaha” anak-anak tertawa ngakak.
Hampir di setiap kelas bahasa Inggrisku, aku selalu menggunakan trik kuaci ini. Dan benar, aku keesokan harinya membawakan beberapa bungkus kuaci untuk mereka. Meskipun hari sebelumnya mereka protes, tapi toh ketika kusodorkan kuaci, mereka asik makan camilan itu dengan senang, berbagi dengan teman-temannya yang lain, yang belum beruntung mendapatkan reward dariku.
Maka sejak saat itu, aku dikenal pula sebagai ‘ Sang Guru Kuaci’. Dan tanpa kuduga, efek kuaci ini menjadi sangat berperan penting bagiku dalam menarik minat belajar dan semangat anak. Bahkan di akhir tahun ajaran dua tahun lalu, pernah kami mengadakan lomba makan kuaci segala. Karena semua anak di kelas semakin antusias dalam belajar bersama. Aku mendapat sponsor ekslusif dari seorang guru wali kelas yang juga ternyata adalah penggemar kuaci. Sehingga semua dana pengadaan logistik camilan rakyat ini ditanggung sang wali kelas.
Metode ‘kuaci learning’ ini bertahan selama dua tahun aku mengajar. Kendati terhitung hanya beberapa kali saja aku memberikan mereka hadiah kuaci, anak-anak tetap bersorak protes sambil tertawa-tawa ketika aku menawarkan mereka rewardku. Anak-anak satu sekolahan, entah mengapa, menjadi semakin senang belajar denganku hanya dikarenakan satu kata ajaib : ‘Kuaci.’

Rendang Jengkol.
Seingatku, dari semenjak aku mulai tumbuh gigi dan sudah bisa mengunyah nasi, aku sudah menjadi penggemar berat jengkol yang tiada taranya. Padahal aku tak pernah meminta hobi makan ini. Kegemaran akan jengkol sepertinya sudah mengalir dalam darah keturunan nenek moyangku. Dulu ayahku bilang bahwa almarhum kakek juga adalah seorang profesional maniak olahan jengkol.
Suatu hari, ketika ayahku masih kecil, kakekku pernah mengalami penyakit ‘jengkolan’ yang begitu menyiksa. Kakek berteriak-teriak memegang pinggang dan menahan sakit hingga berhari-hari lamanya. Semenjak kejadian itu, almarhumah nenek selalu mengubur jengkol di dalam tanah selama beberapa hari lamanya sampai kecambah jengkol itu bertunas. Setelah itu, jengkol bertunas itu baru diolah menjadi masakan. Konon katanya, cara itu bisa mengurangi zat asam jengkol sehingga si pemakan jengkol terhindar dari ‘jengkolan’.
Pernah juga, ketika ayahku masih berumur sekitar lima-enam tahunan, di tengah malam buta menangis berteriak-teriak meminta jengkol. “Jariaaaaaaaaaaaang! Jariang! Jariaaaaaaang! Nio makan jariang abaaaaaak!” (Jengkoooool...! Jengkol! Kepingin makan jengkooool, ayaaaah). Semua penduduk kampung kecilku jadi gempar. Dulu kakek adalah salah satu tetua kampung yang sekaligus menjadi tabib obat tradisional, hal ini membuat kakekku jadi cukup terkenal. Mendengar anak dari seorang tetua berteriak-teriak membuat keributan aneh begitu, para penduduk bukannya malah marah dan merasa terusik. Mereka lari kian kemari mencari setiap rumah yang sedang memasak menu olahan jengkol. Semua tetangga membantu menenangkan tangisan ayahku. Hingga hampir pagi tiba, barulah tangis ayah mereda karena ada salah seorang penduduk kampung yang datang dengan suka rela membawakan sambal jengkol yang baru saja dimasaknya.
Itulah sedikit cerita bersejarah tentang jengkol dalam silsilah keluargaku. Kalau saja kakek masih hidup, aku ingin sekali bertanya kepada beliau tantang asal-muasal kegemaran jengkol ini.
Lalu apa hubungannya denganku kini yang sedang menjadi guru sekolah? Apa kaitannya dengan anak-anak dan trik mengajarku di kelas?
Begini, dalam pelajaran bahasa Inggris juga ada topik tentang makanan dan minuman. Di buku peganganku berisi contoh makanan asing dan luar negeri semua. Anak-anakku sudah hapal betul apa itu fried chicken, pizza, sushi, fondue, dumpling, tacos, curry, spaghetti dan sebagainya. Sekaranglah saatnya aku juga mengenalkan makanan-makanan khas Indonesia.
Semua anak di sekolah tahu aku berasal dari Padang, dan mereka pun tahu salah satu makanan khas Minangkabau adalah rendang. Tapi mereka belum tahu bahwa ada olahan rendang jengkol. Nah, dalam sela-sela pelajaran tentang makanan itu aku menyelipkan cerita lucu tentang kisah kakek dan ayahku seperti yang kawan-kawan baca barusan.
Cerita diatas aku bumbui dengan mimik lucu, intonasi turun-naik, gerak tubuh yang liat, volume suara yang tinggi-rendah, sehingga menarik bagi anak-anak. (Aku bersyukur dulu di kampus pernah sedikit belajar tentang teater dan keaktoran. Ilmu ini ternyata sangat berguna sekali ketika menjadi seorang guru SD). Tak satupun dari mereka yang tidak memperhatikan. Mereka semua larut dalam ceritaku. Mereka turut tersenyum, terkaget-kaget, berceloteh bersahut-sahutan, melongo, hingga tertawa-tawa ngakak bersama. Kelaspun menjadi riuh. Gaduh. Tapi, inilah sebuah kegaduhan yang sudah aku skenariokan sebelumnya.
Dengan cara menarik perhatian anak-anak didik ketika mengajar, membuat mereka selalu penasaran dan ketagihan dengan cerita-ceritaku, aku pun jadi sangat diuntungkan. Bercerita kepada mereka tentang banyak hal unik dan seru terkait materi pelajaran, akan memudahkan prosesku ketika mentransfer ilmu kepada mereka. Dan aku jadi tidak bisa berbohong, mengajar di kelas kini menjadi sangat menyenangkan buatku. Membuatku mencandu.
****************
Inilah sedikit ceritaku tentang cara-cara dan trik unik karanganku sendiri selama mengajar. Aku memang belum pernah mempelajari ilmu keguruan dalam pendidikan formal sebelumnya. Makanya aku harus selalu terus belajar, salah satunya melanjutkan sekolahku dalam bidang ilmu pendidikan. Kini aku sudah akan memasuki semester ketiga di kampusku yang baru. Semoga ilmu-ilmu yang kuperoleh, dari manapun itu, dapat kuabdikan kepada semua anak-anak didikku dimanapun mereka berada.
Aku sering bilang kepada diriku sendiri bahwa, kunci menjadi guru yang menyenangkan itu cuma satu: “Senangkanlah hati anak-anak didikmu! Buat mereka bahagia dengan keberadaanmu. Dengan begitu proses belajar akan berjalan dengan sangat mengasikkan. Bahkan lebih asik dari yang pernah engkau duga dan kau rasakan sebelum-sebelumnya!” Oiya, jangan lupa sering-sering baca buku.

Semoga bermanfaat, kawan-kawan. Sampai jumpa dalam cerita-cerita sekolahku berikutnya.
Merdeka!!!

Fauzan Fadri
17 Agustus 2014
Pukul 13:11 WIB

AKU TELAH BERHUTANG BESAR..!!!

AKU TELAH BERHUTANG BESAR..!!!

Empat tahun yang lalu, kapal kami merapat di pelabuhan Sikakap, Kepulauan Mentawai, setelah hampir empat belas jam terombang ambing gelombang. Di pinggir pelabuhan, ada seorang Ibu tua tanpa suami mengajakku ikut serta ke gubuknya. Ibu itu memintaku untuk memoto setiap sudut pekarangan dan gubuk yang hampir roboh itu. Berikut foto diri dan anak laki-laki kecilnya.

Ibu itu mungkin menganggap kami adalah anggota relawan atau wartawan internasional lainnya yang akan menyalurkan dana bantuan untuk memperbaiki gubuknya dengan bantuan link yang kami punyai, mempublishnya ke media

Namun sayang, kami hanyalah sekumpulan kecil 'mahasiswa nekat' yang akan melakukan kegiatan 'trauma healing' pasca gempa dan tsunami yang telah menimpa kepulauan indah itu beberapa minggu sebelumnya. Kenapa kami dibilang nekat, waktu itu Sumbar mendapatkan isu tsunami dan gelombang susulan, masyarakat yang tinggal di kota Padang dan pesisir pantai mengungsi kedaratan yang lebih tinggi, termasuk ke kampus kami Universitas Andalas yang berada di kawasan perbukitan. Keberanian kami timbul karena dukungan dan doa dari orang tua dan dosen, meskipun kami dilepas oleh sedikit linangan air mata.

Saat turun menjadi relawan, kami tak membawa uang tunai sama sekali. Yang kami bawa hanyalah sedikit beras, daging sapi dan kambing yang sudah kami masak menjadi irisan dendeng kering dan rendang (bantuan dana hewan kurban dari Muslim Inggris melalui lembaga IHSAN – International Humanitarian Social Aid Network), beberapa mainan anak, dan ukulele kesayanganku yang biasanya kugunakan sebagai alat musik bantu dalam mendongeng. Memang tujuan utama kami adalah untuk menghibur anak-anak korban.

Aku tak kuasa menjelaskan siapa sebenarnya kami, aku malah menuruti permintaan Ibu itu. Dan anaknya, terlihat suka sekali dengan ukulele yang ku bawa itu. Si anak kecil bahkan meminta ukulele tersebut, namun dengan halus aku menolaknya karena ukulele tersebut begitu berarti buatku, selalu menemaniku ketika sendiri, mengamen bersama kawan-kawan di kampus, atau berdongeng.

Salah satu kejadian kecil yang sampai kini pun tak pernah aku lupakan sama sekali: aku telah tak dapat memenuhi permintaan si Ibu tua dan anaknya, untuk memperbaiki gubuknya dan memberikan ukulele ku. Aku telah berhutang kepada mereka. Dan kini ukulele itu masih tergantung setia di dinding kamarku. Menjadi saksi bisu.

Sebuah peristiwa seolah 'perjalanan spiritual' yang terus membuatku terlecut untuk berusaha lebih mengabdikan diri kepada bangsa ini. Membaktikan jiwa raga kepada anak-anak negeri dan dunia pendidikan. Karena hanya dengan pendidikanlah, yang dapat mengangkat mereka dan kita semua dari jurang kemelaratan.

Ya, aku telah berhutang besar sekali kepada Si Ibu dan anak lelakinya, kepada bangsa ini. Hutang ini harus terbayarkan, hari ini dan nanti-nanti. Tanpa terasa sudah empat tahun berlalu. Kini aku menjadi guru di sebuah SDIT di kota Depok. Aku jauh-jauh merantau ke sini dengan sebuah alasan: belajar untuk menjadi guru sebenarnya dan mendalami dunia pendidikan.
Di sekolahku pun kini aku menjadi salah satu guru pendongeng rutin ketika ada acara-acara sekolah, pesantren ramadhan, dan kegiatan-kegiatan pengajian warga sekitar. Meskipun aku kini belumlah menjadi pendongeng profesional, namun aku yakin sekali, salah satu hobiku ini sudah menjadi candu bagiku. Betapa tidak, keriuhan kanak-kanak, gelak tawa riang dan canda mereka ketika menyaksikan dongeng adalah obat bagiku. Menjadi penyemangat dan pengingat janjiku empat tahun yang lalu.
Orang boleh menjadi apa saja, boleh memilih pekerjaan baik apa saja yang menyenangkan menurut mereka. Namun bagiku, menjadi guru yang pendongeng adalah sebuah jalan dan proses membahagiakan menuju impian terbesarku: memiliki sekolah gratis untuk anak-anak di salah satu pelosok Indonesia. Aamiin.. Kawan-kawan pembaca, mohon bantu doakan aku juga ya.. Salam damai. Salam sahabat kanak..

Fauzan F.    (21 Juli 2014)
(Guru bahasa Inggris di SDIT Darojaatul Uluum, Meruyung, Limo, Kota Depok)
(Mahasiswa Pasca Sarjana Pend. Bhs. Inggris, UNINDRA, Jakarta)

Kamis, 03 Juli 2014

Sekolah Senyaman Rumah

Di waktu libur begini aku jadi punya banyak kesempatan untuk santai. Kegiatan bersantai yang paling kugemari selain menonton film atau membaca buku adalah merenung. Ya, merenung ketika waktu luang. Kepingan-kepingan peristiwa lampau datang berkelabat kembali ke dalam ingatanku. Aku suka sekali membentur-benturkan pengalaman di masa lalu dengan atmosfer dan kejadian apa yang kualami sekarang, sehingga nanti akhirnya aku menemukan sebuah benang merah.

Misalnya sore ini, aku teringat masa sekolahku dulu. Aku terenung tentang betapa nyaman dan bebasnya perasaanku ketika masih menjadi murid sekolah menegah atas. Sekolah lama yang sudah kuanggap rumahku sendiri. Datang pagi, pulang paling sore. Selain belajar, selalu ada saja kegiatan lain yang kulakukan di sekolah bersama teman-teman: belajar ngeband, berlatih break dance sampai keseleo, atau sekedar nongkrong. Kalau tak sempat mandi pagi, aku akan mandi di toilet sekolah ketika bel istirahat. Ketika sedikit telat, aku akan meminta kunci pagar belakang kepada penjaga sekolah yang keluarganya sudah kukenal baik, sehingga aku terbebas dari hukuman kepsek. Ketika lapar dan tak punya uang jajan, bukan masalah bagiku, aku juga kenal dekat dengan si mbak penjaga kantin, atau si nenek penjual lontong sayur di pinggir jalan seberang sekolah, aku diperbolehkan ngutang di sana.

Sekilas, cerita-ceritaku dulu diatas terlihat biasa saja atau malah mungkin tampak agak bandel khas anak remaja. Namun bagiku di posisi yang pernah menjadi seorang murid, dengan pengalaman macam itu, aku jadi memiliki kedekatan emosional yang intim dengan sekolahku dan orang-orang di sekitarnya. Termasuk para guru, penjaga kantin, penjaga sekolah, dan warga sekitar lingkungan sekolah. Sampai sekarang pun, setelah sepuluh tahun berlalu, aku masih tak lupa bagaimana wajah dan karakter mereka.

Mungkin inilah yang tidak dirasakan oleh teman-temanku yang lain, yang terlalu teratur hidupnya, yang ke sekolah hanya untuk belajar, pergi pagi pulang siang, sorenya les ini itu. Mereka kelak memang bisa melanjutkan ke sekolah tinggi paling favorit, bekerja di tempat bonafid, atau menjadi pegawai negri beberapa departemen. Ya, setidaknya itulah yang menjadi barometer keberhasilan sebagian besar orang-orang kita. Anggapan itu tak sepenuhnya salah.

Kembali ke dunia kampus, kebiasaanku dulu di sekolah bukannya berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Aku sering sekali tidur di kampus. Berkegiatan ini itu, organisasi ini itu, adalah anugrah yang paling indah yang pernah kurasakan selama pernah menjadi mahasiswa. Aku sering menyindir dalam hati tentang betapa kawan-kawan mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) telah menyia-nyiakan sebuah kebahagiaan hakiki dalam menjadi seorang mahasiswa. Uniknya, kawan-kawan tipikal kupu-kupu itulah yang lagi-lagi diklaim berhasil setelah mereka menamatkan kuliahnya. Bekerja di perusahaan swasta nasional atau asing, mereka pun jadi terlihat keren secara penampilan. Aih, sebenarnya standar keberhasilan seseorang itu apa sih? Dulu aku belum paham benar. Kini, aku baru bisa mengerti dan sadar bahwa setiap orang punya pilihan dan standar kebahagiaannya masing-masing. Di sisi lain, standar kebahagiaan dan kepuasan pencapaian hidup kita, tak bisa kita paksakan pula ke orang lain.

Dan sekolah atau kampus bagiku selalu sama saja. Sama-sama tempat untuk belajar, sama-sama sebuah ‘sekolah’secara harfiah. Yang satu sekolah rendah, yang satunya sekolah tinggi. Sekolah yang seperti kubilang dari awal tadi, bukanlah hanya seonggok bangunan mati. Melainkan menjadi sebuah instalasi empat dimensi yang berisikan kolase romansa kecintaan akan proses belajar dan berkehidupan.

Sekolah harusnya menjadi tempat paling nyaman dimana kita telah, sedang, dan akan terus belajar. Tempat kita berteduh, bersantai, bercanda, dan menikmati setiap detik berada di dalamnya. Kini, tangan nasib sedang menuntunku menjadi seorang guru di sebuah sekolah. Sebagai guru, aku tetap ingin menganggap sekolahku yang sekarang adalah rumahku juga, seperti dulu aku pernah menjadi murid di dalamnya. Sebagai seorang guru pula, aku harus bisa menmbuat bangunan sekolah ini beserta diriku sendiri, menjadi rumah yang nyaman bagi murid-muridku.

Aku harus menciptakan sebuah sekolah yang ramah, yang menyamankan perasaan dan pikiran murid-muridku, yang memberikan keleluasaan kepada mereka untuk menggali dan menemukan potensi diri, dan kebahagiaan mereka. Persis sama seperti yang pernah kualami dulu dan sekarang. Mereka akan ikut merasakan indahnya masa-masa bersekolah. Tentang betapa nikmatnya berada di sekolah yang senyaman rumah. InsyaAllah.

Inilah renungan di waktu santaiku sore ini. 


Fauzan Fadri
03 Juli 2014
17:13 WIB

Selasa, 11 Februari 2014

Outing Sampah, Bawa Berkah

Yang terpikirkan pertama kali dalam benak kita ketika mendengar kata sampah adalah menjijikkan, bau, kotor, atau kumuh.  Apalagi bagi kita yang bermukim dan beraktifitas di kawasan yang relatif bersih, perkotaan, atau komplek perumahan kelas menengah atas. Ya, tepat sekali. Kesanalah tempat tujuan ‘outing class’ kami, kelas 5 Khalid bin Walid hari ini. Sebuah tempat pengolahan sampah plastik yang cukup luas.

Bicara soal sampah, aku punya pengalaman pribadi yang romantis. Semenjak kecil ketika masih SD, ada sebuah tempat pengepulan sampah rongsokan tak jauh dari rumah. Aku sering sekali kesana, sendirian atau bersama teman-teman tetangga. Tujuan kami kesana adalah untuk mencari mainan-mainan bekas yang kondisinya sudah lumayan parah. Aku masih ingat benar, dulu pernah mendapatkan ‘action figure’ Ksatria Baja Hitam yang sudah buntung kedua kaki dan sebelah tangannya. Tubuh tak utuh KBH itu menjadi mainan favoritku sampai kelas 6.

Lalu apa sih romantisnya? Adalah kejadian disuatu hari ketika aku kebetulan tak punya teman untuk pergi ketempat pengepul rongsokan itu. Aku merengek-rengek kepada Ayah. Padahal Ayah saat itu lagi sibuk mengerjakan sebuah terali besi pesanan pelanggan. Ayahku adalah tukang las. Kami punya bengkel kontrakan kecil seukuran 4x5 meter dirumah.

Waktu itu kalau Ayah tak bekerja, maka kami tak jajan dan berbelanja. Namun akhirnya dengan rela hati Ayah menemaniku pergi ke tempat rongsokan itu untuk memburu mainan berupa tutup botol bekas kecap, soft drink, atau limun (ketika itu mainan tutup botol bekas sedang menjadi trend di lingkungan anak-anak kami). Taktik kami adalah: Ayah sibuk mencari besi bekas untuk bahan terali, dan aku asik hunting mainan sendiri. Padahal aku tahu bahwa saat itu Ayah sedang tak begitu butuh membeli besi bekas, semata tujuan utama adalah hanya untuk menemaniku. Ayah rela meninggalkan pekerjaannya asalkan kemauanku terpenuhi. Mungkin pikir Ayah: “Walaupun saya tak bisa membelikan mainan baru, setidaknya anak saya senang telah bisa mencari mainannya sendiri.”

Belakangan aku sadar. Itulah bukti cinta Ayah. Peduli apa aku dulu soal beban hidup Ayah untuk menghidupi dan memberi makan keluarga. Yang aku tahu hanyalah keinginanku yang walaupun tak muluk (tak meminta mainan mahal) harus terwujud! Kalau tidak terpenuhi aku akan merengek sepanjang sore hingga malam. Inilah salah satu pengalaman masa kecilku yang paling romantis. Sejak saat itu pula aku selalu suka dengan tempat-tempat pengepulan sampah dan rongsokan. Tempat yang romantis.


**********skip..skip..skip************

Lanjut ceritaku ke masa sekarang. Makanya ketika pertama kali diusulkan oleh Bu Puji (Wakasek Kurikulum)untuk mensurvey sebuah tempat pengolahan sampah plastik yang berada tak jauh dari sekolah kami, aku langsung suka. Hari Senin kemaren aku menuju ke lokasi dengan ditemani seorang OB sekolah yang biasa dipanggil Uncle Herman. Ternyata beliau pernah bekerja disana selama dua tahun. Alhamdulillah, urusan tetek bengek perijinan dan perkenalan dengan mandor beserta para pekerja disana berjalan lancar.

Hari ini kami bersama anak kelas 5 berkunjung kesana. 

Seperti yang kawan-kawan ketahui, aku mengajar di sebuah SDIT yang notabene latar belakang strata sosial ekonomi murid-muridku adalah kalangan mengengah atas. Dalam benak murid-muridku selama ini, outing class mungkin adalah acara jalan-jalan, naik bus AC berkunjung ke tempat wisata atau semacamnya. Kali ini aku ingin sesuatu yang lain. Sebuah tujuan lain. Inilah “Outing Sampah!”

Lantas apa alasanku menganggap outing class kali ini adalah sesuatu yang perlu? Pertama, anak-anak haruslah dikenalkan dengan kepekaan akan lingkungan sekitar sedari dini. Gedung sekolah yang ‘mewah’ harus diterobos dengan bukaan mata hati yang lebih detail namun luas. Kita hidup bermasyarakat. Berdampingan satu sama lain. Aneka jenis pekerjaan, keragaman tingkat sosial. Di ruang kelas kita belajar menghargai dan hormat kepada sesama, terutama yang lebih tua. Di pelajaran PAI kita sama setuju dan yakin bahwa Allah tidak menilai hambanya dari tingkat ekonomi tertentu melainkan kadar ketaqwaan, iman, dan semangatnya bekerja keras, serta peduli sesama. Kini saatnya kita keluar sebentar dan memaknai bahwa teori-teori pelajaran dan keyakinan itu memang benar adanya.

Aku mencoba mengenalkan sisi sosial humanis kepada anak-anak dengan mengunjungi sebuah tempat pengolahan limbah sampah. Memang awalnya ada beberapa siswa yang mengeluh kecapean, bau, becek dan lain sebagainya. Namun dalam peristiwa kunjungan dan observasi kami kali ini, aku ingin sekali mengatakan kepada anak-anakku secara implisit bahwa sesuatu yang berharga dan tak ternilai bahkan ada di tempat-tempat seperti itu. Kerja keras dan semangat dalam mencari harta halal yang ditunjukkan oleh para ibu dan bapak pekerja di tempat pengolahan sampah itu akan ‘berbicara’ lebih banyak. Lebih dari sekedar petuah kata-kata nasehatku dalam ruang kelas di mata pelajaran pendidikan karakter.

Kedua, adalah soal pemahaman tentang persoalan kepekaan lingkungan. Banjir terjadi karena sampah. Dengan melihat sendiri bahwa sampah bisa diolah dan bisa menghasilkan uang, paling tidak anak-anak akan lebih sadar untuk tetap menjaga kebersihan. Aku harap begitu. Proses pembelajaran anak-anak bersumber dari apa yang mereka lihat dan lakukan, bukan dari yang mereka dengar. Makanya masih sering kita temui kasus anak yang sulit dinasehati, karena mereka hanya mendengar nasihat-nasihat saja, tanpa melakukan dan mengalami sesuatu yang konkrit. Sesuatu yang dapat diamati langsung, dirasa, diraba, dicium, dan melakukan hal tertentu. Anak-anak lebih banyak belajar dari contoh perbuatan yang kita dan sekitar lakukan. Memberi contoh yang baik adalah metode mengajar yang paling ampuh, walaupun perlu proses dan kesabaran kita sebagai guru dan orang dewasa.

Ketiga, anak-anak tetap bisa ‘menyalurkan hobi’ mereka sebagai seorang observer secara alamiah. Apa yang dilakukan hampir seluruh anak kelas 5 adalah mereka begitu asik dan selalu penasaran terhadap aneka sampah plastik yang mereka temukan. Boneka bekas, pistol-pistolan bekas, kaset, compact disc, video, bahkan stick PS bekas, adalah hal menarik bagi mereka. Ketika melihat betapa antusiasnya mereka, aku jadi teringat kembali pengalamanku waktu kecil seperti yang kuceritakan diawal tadi. Bagaimanapun juga, meskipun tempat pengolahan sampah ini tidak sebagus pemandangan mall dan tempat wisata, namun dimata anak-anak yang kaya akan imajinasi, semuanya tampak seperti arena taman bermain.

Terakhir dan yang paling utama adalah tentang rasa kesyukuran akan keberadaan mereka yang mungkin saja kini lebih beruntung dari pada para pekerja di sana. Anak-anakku dengan rumah dan sekolah mereka yang nyaman, para orang tua mereka yang tak perlu berpikir dua kali untuk membelikan seragam, buku, dan mainan. Serta limpahan hidup berkecukupan sebagai karunia dari Tuhan, adalah sebuah alasan untuk mereka, kami, dan kita agar dapat lebih mawas diri, gemar berbagi, bahkan sampai tak kepikiran nanti untuk ikut-ikutan jadi pejabat yang korupsi. Melihat keatas kita tak kan pernah merasa puas, melihat ke bawah kita akan belajar bagaimana meningkatkan solidaritas antar sesama dan ukhuwah.

Ah, saya tiba-tiba teringat perkataan Tan Malaka:

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali!”


Anak-anakku kelas 5 Khalid bin Walid, merdekalah kalian! Kelak jadilah kalian apapun, jadilah ‘kaya’. Namun tetaplah belajar berbagi dan menjadi pribadi yang sederhana seperti Rasul junjungan kita, Gandhi, maupun Hatta.




Fauzan Fadri

Selasa 11 Februari 2014 

Pukul 23:24 WIB

Jumat, 07 Februari 2014

Surat Cinta dari Seorang Guru Biasa


Aku adalah seorang biasa. Aku tidak terkenal, belum pernah muncul di televisi dan koran. Tapi aku juga punya mimpi seperti kalian. Impianku adalah menjadi guru selamanya, dan memiliki sebuah sekolah alam untuk anak-anak. Dengan kekuatan usaha, doa, dan bantuan kawan-kawan, aku yakin impianku itu akan tercapai nantinya. Aku tahu, aku kini sedang berada di jalan setapak menuju kesana. 

Guru adalah sebuah pekerjaan paling remeh: hanya berceramah  di depan kelas, menyuruh murid mengerjakan tugas, memberikan tumpukan pekerjaan rumah, menuliskan angka-angka nilai sesuka hati, hingga menghukum murid yang melanggar dan sulit mengerti. Jadi guru hanya akan untuk dibenci para siswa dan siswi. Jauh dari tujuan sucinya yang untuk menginspirasi. Dan sekolah tak lebih dari sekedar tembok-tembok sempit bagaikan dalam ruang jeruji penjara.

Setidaknya, itulah pemahamanku dulu. Mungkin sama seperti yang kalian anggap sekarang. Guru adalah sipir tukang perintah, menyita waktu bermain dan kebebasan ekspresi peserta didiknya.

Namun akhirnya siapa pula yang menyangka, aku dihukum Tuhan dengan sebuah hukuman yang paling tak terbayang. Tuhan maha adil, maha unik dalam memberi kita sebuah pelajaran. Aku dihukum dengan cara ‘menjadikanku’ seorang guru. Sebuah profesi yang tak pernah sedikitpun kuimpikan ketika aku masih bersekolah dulu, malah kini justru menjadi seolah tujuan hidup dan manifestasi akan sebuah pemaknaan diriku.

Lalu apa sebab pemahamanku ini bisa berputar seratus delapan puluh derajat? Semuanya bermula dari pengalamanku sendiri ketika sempat menjadi relawan trauma healing anak-anak korban gempa di kampungku beberapa tahun lalu. Ketika itu aku adalah seorang mahasiswa sastra yang resah. Banyak membaca, aktif berorganisasi, diskusi kampus membuatku sempat membenci beberapa sikap dan kebijakan pemerintah. Salah satunya dalam sistem pendidikan kita ini. Kawan pasti tahu apa saja sebabnya; ketidakmerataan fasilitas, sekolah mahal, buku mahal, seragam mahal, guru-guru yang tidak kompeten, masalah ujian nasional, dan banyak lagi, sebut saja!

Ketika itu aku hanya bisa mencaci, berkoar-koar tak berujung pangkal tanpa bisa melakukan suatu hal yang berarti. Adalah hal kecil saja yang kami lakukan setelah gempa itu terjadi. Bersama belasan rekan kampus kami belajar berbagi. Belajar turun ke lapangan, menjadi relawan untuk pertama kali. Kami melakukan apa saja yang bisa dikerjakan: mengumpulkan logistik, menghubungi para donatur, rapat dan konsolidasi, mendirikan tenda-tenda darurat, memasak, hingga berdongeng dan bernyanyi.

Sejak itulah, aku mulai belajar mengerti. Kritikan dan protes tak ada gunanya sama sekali. Kata-kata menjadi basi. Melakukan hal kecil dan sederhana jauh lebih bermanfaat. Anak-anak di pengungsian itu, bola mata mereka yang jernih kontras dengan pemandangan reruntuhan rumah dan bangunan sekitar yang miris. Keceriaan dan senyum tulus mereka berhasil mengubah jalan hidup dan pandanganku. Sejak itu aku mulai berdamai dengan diriku sendiri, berjabatan tangan dengan masa lalu, dan mulai menatap masa depan serta memutuskan satu tujuan: menjadi bagian dalam dunia anak dan pendidikan.

Semangat kerelawanan itu masih berbekas dan kugenggam hingga sekarang. Menjadi guru menurutku adalah metamorfosis dari wujud sikap kerelawanan  itu sendiri. Maka peduli apa soal gaji. Aku tak berharap muluk. Biarkan Tuhan yang Maha Baik mendatangkan rahmat dari pintu-pintu lain. Toh kesehatan dan kesyukuran hati adalah setinggi-tingginya nikmat dan rezeki.

Aku kini menjadi guru sekolah dasar di kota Depok, sudah dua tahun merantau. Aku suka sekali menjadi guru karena bisa dekat dengan anak-anak. Entah mengapa, para murid di sekolahku pun punya sorot mata yang sama dengan anak-anak pengungsi korban gempa yang kutemui beberapa tahun lalu. Kupikir mata seluruh anak-anak di dunia memang seperti itu ya. 

Cahaya ketulusan, keceriaan, dan kepolosan selalu terpancar dari mata anak-anak. Dan kebahagiaan itu menular padaku. Kawan tentu sependapat denganku, bahwa semakin kita menjadi orang dewasa maka hidup pun semakin penuh dengan tantangan dan tuntutan. Hidup menjadi semakin palsu dan tidak menyenangkan. Tak sedikit orang dewasa yang frustasi dengan masalah dirinya. Mereka lupa bahwa dulu mereka pernah menjadi anak-anak yang selalu berbahagia, positif, pantang menyerah, selalu penasaran dan gemar belajar hal baru serta jujur. Dengan berbaur bersama anak-anakku di sekolah, aku mempertahankan keceriaan masa kecil yang pernah kualami dulu. Inilah hal utama yang kudapatkan secara gratis dengan menjadi seorang guru: Rasa Bahagia.

Tentunya aku tak ingin menjadi tipikal seorang guru seperti yang kusebut di awal ceritaku tadi. Aku ingin menjadi guru biasa yang menginspirasi. Makanya aku perlu banyak belajar lagi. Latar belakang pendidikanku yang bukan keguruan justru menjadi penyemangatku untuk mempelajari dunia yang sedang kugeluti ini. Banyak sekali percobaan trial-error yang kulakukan ketika belajar dan mengajar siswa di sekolahku. Namun satu yang pasti, aku harus selalu mengajar mereka dalam keadaan ceria, dengan semangat rasa senang hati.

Dari anak-anak itu justru akulah yang belajar. Entah siapa yang guru, entah siapa yang menjadi murid. Aku tidak menganggap muridku sebagai cangkir kosong yang harus diisikan ilmu dariku sebagai sebuah teko. Muridku bukanlah cangkir kosong itu! Mereka adalah sahabatku, partnerku dalam proses belajar kami sendiri-sendiri.

Seperti yang kubilang tadi. Aku belajar kebahagiaan, memaknai hal, berbagi, menjadi berarti, dan mensyukuri hidup dari anak-anak muridku di sekolah. Sederhana sekali kan kawan? Ya, menjadi seorang guru biasa dan sederhana ternyata amatlah menyenangkan. Oiya, kini aku tak lagi gemar mencaci.


Fauzan Fadri
Depok, 13:17 WIB, 08-02-2014

Sabtu, 18 Januari 2014

Surat Protes Anak-anakku : Sebuah Otokritik dan Kebanggaan Atas Mereka

Bagaikan petir disiang bolong! Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba surat itu datang dari seorang muridku bernama Nida. Aku kira itu hanyalah surat biasa seperti yang dulu-dulu pernah kuterima dari beberapa anak yang isinya kesan mereka terhadapku dan pelajaran yang kuampu, ucapan terimakasih, selamat, atau semacamnya.

Nida adalah salah satu anak yang paling suka bertanya kepadaku tentang apa saja, termasuk pengetahuan-pengetahuan diluar materi pelajaran. Ia juga sangat senang ketika mendengarkan aku berkisah di depan kelas, itu tampak jelas kulihat dari sinar mata dan raut wajahnya. Nida yang haus ilmu dan kritis ini kebetulan juga adalah anak yang menduduki posisi akademis tertinggi di kelas 5. Kelas Khalid bin Walid.

Tapi kawan, tidak seperti cerita-ceritaku sebelumnya yang hanya mengisahkan satu atau dua anak. Kali ini Nida bukan tokoh utamanya. Melainkan seluruh anak kelas 5, seisi kelas!

Ceritanya begini:

Tadi siang setelah makan siang bersama. Nida dan Esti menghampiriku dan mereka berkata:
“Ustad, nanti ikut mendampingi pelajaran SBK nya Miss Ika di kelas kami kan?”
“Wah, ustad harus menemani kelas 4 di pelajaran PKn nanti, memangnya ada apa?” Ujarku.
“Eh, nggak tad. Gak ada apa-apa kok. Tapi ustad mau ya ikutan SBK bareng kita.” Kata Nida.
“Hmm..baiklah. Nanti kalian mau bikin mading ya? Akan ustad temani deh.” Jawabku kemudian.

Hari kamis ini aku memang tak ada jadwal mengajar di kelas mereka. Aku hanya diamanahkan untuk satu mata pelajaran IPS/Sejarah saja setiap hari selasa. Lainnya adalah materi Pembinaan Karakter dan jam Perpustakaan yang hanya sekali seminggu. Itupun Cuma berdurasi masing-masing 30 menit. Pada intinya aku adalah seorang guru bahasa Inggris. Maka tak heran bahwa aku juga mengajar di 3A, 3B, 4A, 4B pada hari-hari lainnya.

Bagiku pembagian jadwal ini sama sekali tak jadi soal. Toh setiap aku mengisi mata pelajaran di kelas 5, aku selalu berusaha sebisanya untuk menyampaikan materi dengan santai dan diselingi humor. Dengan games atau permainan. Tak jarang juga aku bercerita tentang apa saja. Hal ini aku tujuankan agar mereka tak merasa sedang ‘diajari’. Ya, kawan pasti tahu benar bahwa anak-anak sekarang mana mau belajarnya monoton. Selalu duduk rapi melipat tangan, mendengarkan guru dalam diam, mencatat dan merangkum buku seperti kita dulu bersekolah, kini sudah ketinggalan jaman. Sudah out of date! Maka jadilah aku memakai cara diluar mainstream dalam menyampaikan pelajaran kepada anak-anak.

Setelah kupikir-pikir lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mendampingi mereka pada jam terakhir. Ketika aku sedang asik menggambar dan menggunting bersama anak-anak pada jam pelajaran SBK itulah datang Nida dan teman-temannya menyerahkan sepucuk kertas yang dilipat menjadi kecil sekali seukuran kotak korek api. Katanya itu surat untukku. Harus kubaca nanti setelah pulang sekolah. Aku bertanya, “Surat apa ini? Kejutan buat ustad ya?” Anak-anak itu hanya tersenyum penuh arti. Aku yang sedang asik berkutat dengan persiapan mading kelas, memasukkan kertas itu ke dalam kantonmg celana. Tak bertanya lagi.

Namun aku sangat penasaran. Ini surat pertama yang bersifat rahasia diberikan oleh anak-anak terhadapku. Di depan kertas kecil itu tertulis:

TO : Ustad Fauzan
From : Anak Kelas 5 Khalid Bin Walid
(Secret Project)

Aku sempat tersenyum membaca dua kata terakhir : “Secret Project”. Memang aku sering menggunakan istilah ‘project’. Ini karena kami dikelas 5 sedang dalam proses beberapa proyek seperti menerbitkan buku antologi karangan cerita masing-masing anak, perpustakaan kelas dengan motto ‘take one book, leave one book’ , jualan jus bikinan kami sendiri di kantin sekolah, hingga latihan lagu rap untuk didedikasikan kepada Ayah Bunda. Mereka mengambil istilah ‘project’ dari sana. Yang bikin aku heran ada kata ‘secret’ nya segala. Berarti ini memang bersifat rahasia dan penting.

Maka ketika keluar sebentar untuk menyiapkan games intrakurikuler bahasa Inggris untuk mereka. Aku punya hanya sedikit waktu untuk mengintip surat itu. Intinya mereka protes mengapa aku jarang berada dikelas mereka. Nah, tahulah aku akhirnya alasan kenapa raut muka anak-anak terlihat cemberut kepadaku ketika aku mengajak mereka ke lapangan untuk bermain games bersama. Ekspresi wajah Nida lah yang paling muram kulihat. Dia yang biasanya antusias, kini berubah 180 derajat. Ajakanku ditolaknya. Nida ngambek total!

Melihat gejala yang kurang asik itu, akupun mengajak semua anak kembali untuk ke kelas. Games bahasa Inggris yang biasanya seru itu kuundur sementara. Setelah anak-anak semua berada dikelas. Maka seperti biasanya, aku memulai awalan kata dengan teriakan semangat. Anak-anak diam. Kesempatan emas yang hanya berselang beberapa detik itu langsung aku manfaatkan untuk menceritakan kisah tentang kawan-kawanku yang kukagumi. Aku bercerita tentang kawan-kawanku yang kini berada di Jepang, Malaysia, dan Amerika. Kuceritakan kawan-kawanku yang pernah keliling dunia dan Indonesia untuk belajar, kawan-kawanku yang bergiat di LSM dan NGO untuk membantu anak-anak terlantar dalam bidang ekonomi dan pendidikan.  Aku katakan kepada anak-anakku, bahwa para kawanku itu titip salam untuk mereka.

Mendengar itu, semua anakku heran. Kok bisa kawan-kawanku mengenal mereka yang hanya murid sebuah sekolah dasar. Maka kubongkarlah semuanya saat itu. Kuceritakan bahwa setiap malamnya aku diskusi dan chatting dengan kawan-kawanku itu tentang pengalaman mereka di sekolah. Kawan-kawanku itu kagum kepada semangat, antusiasme, kreatifitas, dan kecerian mereka di sekolah. Kukatakan juga kepada anak-anak kelas 5 bahwasanya mereka patut berbangga karena mereka kini punya fans di seluruh Indonesia bahkan dunia. Semua itu bisa terjadi lewat mengakses internet yang kulakoni saban malam.

Intinya, kutegaskan pada anak-anakku, walaupun secara fisik aku jarang berada dikelas mereka karena aku juga mengajar di banyak kelas lain, pikiran dan hatiku selalu terpatri kepada mereka. Aku bilang aku kagum dan bangga kepada mereka yang walaupun masih kanak-kanak, tapi dapat menginspirasi kami sebagai orang yang telah dianggap dewasa. Kami (kawan-kawanku dan aku) dulu tak selayak dan senikmat mereka belajar disekolah dasar yang penuh dengan segudang keterbatasan.

Kutambahkan pesan agar anak-anakku dikelas 5 untuk selalu menjaga kekompakan, kesenangan belajar dan kepedulian agar mereka (tentu saja) bisa lebih hebat dari kawan-kawanku itu nanti. Mendengar ini semua, anak-anak kembali bersemangat dan antusias seperti biasa. Mereka tampaknya sudah melupakan kejadian kasus surat protes tadi. 

Akhirnya ketika kuajak mereka semua ke lapangan, materi games kami berlangsung sangat seru sampai-sampai bapak kepala sekolah kami keluar kantornya dan ikutan duduk dipinggir lapangan. Ikutan tertawa-tawa sambil sesekali turut menyemangati dan menyoraki games pertandingan yang sedang berlangsung.

*****

Ketika di angkot saat pulang sekolah tadi. Aku kembali membaca penuh semua isi dari surat protes anak-anakku. Ada perasaan bersalah sekaligus haru. Memang kuakui dalam dua minggu ini aku tampak seperti lebih perhatian kepada kelas 3 dan 4. Aku membuatkan yel-yel khusus untuk kelas 4A dan 4B. Dan anak-anak kelas 4 senang sekali dengan itu. Hal ini pastinya diketahui juga oleh kelas 5. 

Disamping itu aku juga sedang menguras otak dan memfokuskan perhatian kepada anak-anak kelas 3 untuk kuanalisis gaya belajar mereka dan metode apa yang paling tepat kulakukan di kelas untuk menarik perhatian mereka. Selama berada di sekolah, aku memang sedang berupaya memetakan kelas 3. Maklum, tahun kemaren aku belum pernah mengajar dan mengenal mereka lebih intens. Berbeda dengan anak-anak kelas 5 sekarang yang sudah kukenal cukup dekat karena telah mengajar bahasa Inggris di kelas mereka tahun lalu.

Dalam hati aku berujar: “Tapi ini tak boleh dijadikan alasanku untuk tidak lebih memperhatikan kelas 5. Semua anak di sekolah haus akan perhatian. Mereka haus akan cinta. Seperti layaknya kita orang dewasa.”

*****

Begitu tiba dirumah, aku yang jarang sekali menceritakan pengalaman di sekolah kepada Ibu, langsung memperlihatkan surat itu pada beliau.  Setelah membacanya Ibuku pun berkata : “Wah, anak-anak Fauzan di sekolah hebat sekali ya. Mereka sungguh cerdas!”

Bertambah lagi satu fans anak-anakku di sekolah, tak lain adalah Ibuku sendiri.

*****


Fauzan Fadri
12 September 2013
Pukul 20:33 WIB




Lampiran Isi Surat:

Assalaamua’alaikum Wr. Wb.

Ustad Fauzan, maaf kalau Nida, Esti, Rico, Zidan, Pasya, dan anak kelas 5 ngasih tahu ustad berlebihan. Kami semua iri dengan kedekatan Ustad dengan anak kelas 4. Kami semua gak melarang Ustad dekat dengan anak kelas 4. Tapi kami iri karena Ustad Fauzan waktunya lebih banyak sama anak kelas 4. Sedangkan Ustad Fauzan lebih sedikit waktunya sama anak kelas 5. Padahal Ustad sendiri (adalah) pendamping wali kelas 5.

“KAMI INGIN USTD. FAUZAN LEBIH BANYAK WAKTUNYA DAN LEBIH DEKAT DGN ANAK KELAS 5, termasuk kami.”

Wassalamualaikum Wr. Wb.


Gaya Belajar Unik Kelas Khalid

Halo apa kabar kawan-kawan semua? Semoga senantiasa semangat dan selalu dilimpahi rahmat dan keceriaan. Kali ini saya akan membeberkan sedikit kegiatan belajar yang dilakukan kelas 5 Khalid Bin Walid dalam satu bulan belakangan ini. Mungkin saja kawan-kawan sudah lebih dulu tahu (bagi yang non guru/pendidik) dan bahkan lebih ahli dalam mempraktekkan sistem, gaya, dan metode mengajar di sekolah (bagi kawan guru atau praktisi pendidikan). 

Kami masih belajar tentunya. Masih belum cakap dan ahli. Namun ini ada beberapa program kegiatan sekolah dan beberapa trik serta metode mengajar yang saya modifikasi di kelas Khalid dan sekolah kami. Seperti kita sepakati bersama, proses belajar di sekolah tak hanya ketika murid berada di dalam kelas, duduk rapi, mencatat dan mendengarkan guru. Semoga tulisan berikut ini bermanfaat. Ditunggu saran, kritik, dan sharingnya demi kemajuan belajar kita bersama.


Outing Class di Kota Tua

Di sekolah kami ada program outing class.  Sesuai namanya, anak-anak memang diberikan kesempatan bermain dan jalan-jalan keluar. Setiap kelas bebas menentukan kemana tujuan. Apakah itu ke lembaga pemerintahan, kebun raya, pusat wisata budaya, kuliner, kantor-kantor, museum, hingga ke panti asuhan. Beberapa contoh tujuan outing class ini memang musti berkaitan minimal dengan salah satu subyek mata pelajaran. Bisa IPS, Agama, PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan sebagainya. Program ini dilakukan sekali setiap semester.

Semester ini, kami bersama anak-anak kelas 5 Khalid bin Walid pergi ke museum Sejarah dan Museum Wayang di Kota Tua. Kebetulan, selain mengajar bahasa Inggris di kelas 3 dan 4, aku juga mengampu mata pelajaran IPS di kelas 5. Sejak pertama kali diusulkan miss Astri, aku langsung setuju. Kota Tua dan beberapa museum yang ada di sana adalah ‘tempat wisata’ paling favorit bagiku selain toko buku. Disana anak-anak akan mengenal lebih dalam tentang sejarah budaya bangsa, tentu saja ini sangat koheren dengan materi IPS.

Dan beruntungnya kami, kegiatan ini juga berkaitan dengan pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Anak-anak juga diminta mewawancarai petugas museum, pengunjung, penjual makanan dan souvenir, pekerja seni, dan turis asing yang mereka temui di sekitar museum. Tugas wawancara turis asing adalah titipan Miss Nitha yang mengajar Bahasa Inggris di kelas 5.

Adalah Naufal, anak paling aktif di kelas. Hobinya segala macam olah raga. Aktif sekali bergerak. Kadang di kelas ia memang sulit fokus, kecuali proses belajar itu kita modifikasi dengan banyak gerakan. Anak inilah yang mengagetkan saya. Dialah yang pertama kali menghampiri seorang bule asal Jerman bernama Charlie. Dengan modal bahasa Inggris yang patah-patah (Paling lancar ia bilang: ‘Helo, What’s your name?’ saja, hehe), ia membuntuti bule itu. Sehingga si bule berhenti dan langsung saja dikerumuni oleh semua temannya yang lain. Alhasil, si bule Jerman ini menjadi artis sehari. Ditanyakan macam-macam oleh anak-anak Khalid.

Keesokannya, masih dibayangi oleh kekaguman atas keberanian Naufal dan teman-temannya. Saya mengajak mereka membuat mading kecil yang berjudul : “The First Time When I Talk to Stranger”.

Kami menempelkan foto Charlie dan anak-anak. Dan meminta mereka membuat testimoni di sebuah kertas kecil lalu ditempel disekitar foto mereka dan Charlie. Ada anak yang menulis: “Sungguh menyenangkan, mendebarkan, grogi harus ngapain, pengalaman luar biasa, dan lain sebagainya.” Bahkan Arul menulis disana: “Tanganku gemetaran ketika salaman sama Charlie. Itu bule laki-laki kok tangannya halus sekali ya, pasti dia jarang nyuci baju dan piring di rumah, hahaha.”

Dari kegiatan ini, saya melihat anak-anak Khalid senang sekali tiada terperi. Ini adalah pengalaman pertama kali seumur hidup mereka berinteraksi dengan orang asing. Keberanian mental, kepercayaan diri, semangat belajar bahasa, pemahaman mereka tentang manusia dan dunia yang luas, serta semangat keingintahuan mereka akan bermula dari sini.


SRA Project

Project terbaru kami di kelas 5 adalah 'Silent Reader Action'. Maksudnya bukanlah menjadi pembaca misterius di forum-forum internet atau media sosial lainnya. Melainkan melakukan kegiatan membaca yang kami lakukan selama 20 menit setiap menjelang sholat Jum'at.

Anak-anak bebas memilih buku bacaan apa saja dari perpustakaan kelas kami (selain perpustakaan sekolah, kami juga punya puluhan koleksi buku dari kami sendiri yang di simpan di lemari, ini bagian dari project kelas 5 sebelumnya yakni : 'Take one book, leave one book').

Saya bebaskan anak-anak membaca apapun: buku pelajaran, majalah anak, kisah sahabat Rasul, komik Disney, buku pengetahuan dan ensiklopedia, bahkan ada yang membaca brosur museum-museum dari Kota Tua.

Ternyata anak-anak yang biasanya aktif bergerak, dapat berdiam diri ketika membaca selama itu. Mereka juga saya bebaskan mengambil posisi membaca dimana saja. Ada yang duduk di kursi, selonjoran, bahkan sambil santai tiduran di karpet. Setelahnya, saya tanyakan satu per satu tentang apa yang mereka baca. Dan ajaibnya mereka bisa menceritakan informasi apa yang mereka dapatkan dari membaca. Sungguh luar biasa.

Saya harapkan anak-anak Khalid mulai merasa senang dalam membaca. Ini bisa dimulai dari membaca apa saja yang mereka suka. Saya yakin, dalam setiap bacaan apapun terkandung ilmu dan pengetahuan yang berbeda. Tentu saja bukan dari bacaan-bacaan aneh dan nyeleneh. Hal ini juga saya alami sendiri ketika menjadi guru. Setiap malam biasanya saya membaca buku atau berselancar di internet, membuka situs, blog, dan media sosial lainnya. Membaca apa saja yang berkaitan tentang pendidikan, gaya mengajar, dan info-info baru tentang isu serta disiplin ilmu apa saja yang biasanya ‘tanpa saya sengaja’ selalu terkait dengan materi pelajaran yang sedang saya berikan kepada anak-anak di kelas.

Dengan mengasah gaya bercerita ditambah pengetahuan baru yang biasanya tidak ada di buku-buku pegangan siswa, saya harap anak-anak Khalid khususnya mendapatkan ‘nutrisi ilmu’ baru yang menarik, sehingga mereka semakin penasaran akan ilmu pengetahuan, makin semangat belajar dan kritis. Sungguh bila anak-anak ini tahu betapa nikmatnya membaca, anak-anak Khalid kelak akan jauh lebih maju dalam banyak hal, tak peduli akan memilih profesi dan hobi apa saja yang akan mereka geluti nanti.


Menjadi Guru Cilik

Ini adalah program mingguan intrakurikuler bahasa Inggris. Setiap hari Kamis selama satu jam sebelum pulang, anak-anak Khalid dibagi menjadi 6 kelompok kecil dan diminta mengajar adik-adik mereka di kelas 1 dan 2 (masing-masing terdiri dari 3 kelas). Program ini bermula sejak sebulan yang lalu. Cerita lengkapnya ada dalam note saya terdahulu yang berjudul: “Puluhan Guru Cilik di Sekolah Kami : How Learn to Learn Method”

Kekurangan guru bahasa Inggris di sekolah kami bukan menjadi suatu hambatan. Atas inspirasi yang saya dapatkan dari anak-anak Khalid sendiri, akhirnya saya melakukan uji coba project ini. Alhamdulillah sejauh ini berhasil. Anak-anak Khalid senang sekali ketika mengajari adik-adiknya Bahasa Inggris. Ada yang mengajar sambil bernyanyi, berkeliling lingkungan sekolah, sambil bermain ular naga dan permainan tradisional lainnya, sambil menggambar, tebak-tebakan, dan lainnya.

Siang kemaren, ada beberapa anak Khalid yang mengeluh kepada saya tentang bagaimana cara mengondisikan adik-adik mereka agar tetap tenang selama belajar bersama mereka. Saya berikan gambaran kepada anak-anak Khalid tentang cara dan trik mengajar ketika di kelas. Saya mengatakan: “Khusus mengajar kelas 1 dan 2, kalian haruslah lucu dan kreatif. Pastinya adik-adik akan senang kalau gaya mengajar kalian menarik. Kalian boleh ajak mereka seru-seruan sambil belajar, tebak-tebakan, cerita lucu, kasih games atau apa saja. Dan yang tak kalah penting adalah kesabaran. Kalian harus sabar ya.”

Selain anak-anak Khalid sendiri, para guru kelas 1 dan 2 serta adik-adik senang sekali ketika diajarkan oleh kakak kelas mereka sendiri. Mereka menyambut dengan sangat antusias. Anak-anak Khalid pun seolah menjadi selebriti sekolah. Mereka punya banyak fans dari kelas 1 dan 2. Ketika jam istirahat, mereka sering dibuntuti dan diajak bercanda oleh adik-adiknya. Sungguh ini sebuah pemandangan yang membuat saya bahagia.

Namun lebih pada itu, saya punya harapan lain dari project ini. Dengan mengajar, anak-anak Khalid akan lebih tahu bagaimana esensi dari proses belajar itu sendiri. Selain melatih kemampuan bahasa Inggris, daya kreatifitas, keberanian mental, kepercaan diri, dan kemampuan mencari solusi atas suatu masalah, mereka juga belajar bersosialisasi.

Proses belajar terbaik adalah ketika kita mengajar. Itulah satu kalimat yang senantiasa terpatri dalam diri saya selama ini. Dengan mengajar, anak-anak Khalid akan belajar berkali-kali lipat. Tidak hanya belajar satu mata pelajaran tertentu, tetapi belajar banyak sekali hal diluar itu.

*****

Demikianlah. Masih ada beberapa hal yang akan saya sampaikan seperti: project sahabat pena lintas pulau, project buku antologi karya mengarang anak kelas 5, dan lain sebagainya. Lain waktu akan saya ceritakan kepada kawan-kawan semua. Terimakasih. Salam sahabat kanak!  


Fauzan Fadri
Jum'at 08 November 2013


Anak-anak Khalid sedang bersiap mengajar adik-adik kelas 1 dan 2. Tema : Animals
Anak-anak Khalid sedang bersiap mengajar adik-adik kelas 1 dan 2. Tema : Animals
Mewawancarai Charlie di Kota Tua
Mewawancarai Charlie di Kota Tua